Senin, 26 April 2010

KLASIFIKASI SAHABAT NABI RA.

KLASIFIKASI SAHABAT NABI 
[Telaah Pemikiran Ibn Sa’ad dalam Kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>]
A. Pendahuluan
Islam yang diajarkan oleh Muhammad Rasulullah  dengan rentang waktu empat belas abad yang lalu sampai kepada kita secara berantai dari generasi ke generasi. Perjalanan panjang penyampaian (Tahammul wa al-Ada’) dan penghimpunan hadis (Tadwin al-Hadits) tersebut ternyata menimbulkan sebuah permasalahan tersendiri dalam ilmu hadis, artinya periwayatan hadis berstatus D{anny al-Wurud. Dari sinilah kemudian para Ulama hadis berusaha menciptakan sebuah “Body of Knowledge” yang didalamnya terdapat kaedah-kaedah dalam menyeleksi periwayatan hadis baik dari segi sanad (al-Naqd al-Khariji>) maupun matan (al-Naqd al-Dahili>) sehingga bisa ditentukan apakah sebuah periwayatan hadis tersebut diterima atau ditolak.
Dari segi sanad, periwayatan hadis ternyata melibatkan beribu-ribu periwayat hadis (transmitter), yang tidak sedikit diantaranya tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik secara kualitas kepribadian (al-‘Adalah) maupun kapasitas intelektual (al-D{abt}). Oleh karena itu penelitian atas periwayat hadis baik meliputi biografi, guru dan muridnya serta informasi lainnya yang berkaitan dengan periwayatan hadis menjadi penting. Beberapa Ulama hadis telah merintis perkembangannya dalam Ilmu-ilmu Hadis (‘Ulu>m al-Hadi>ts) menjadi Ilmu Rijalil Hadis, dari ilmu tersebut kemudian terpecah lagi menjadi Ilmu Tarikh al-Ruwah dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Dalam perkembangan selanjutnya menurut penulis diperlukan tidak hanya deskripsi atas biografi periwayat hadis ansich, tetapi diperlukan pemilahan atas periwayat hadis yang berjumlah banyak. Oleh sebab itu beberapa Ulama ada yang memilah periwayat hadis dari segi Tsiqah dan D{a’i>f, dari segi tempat tinggal periwayat hadis, ada juga yang memilah dari hal kedekatan periwayat hadis satu dengan periwayat hadis yang lain. Untuk yang terakhir inilah kemudian muncul dalam ilmu hadis sebagai Ilmu T{abaqah.
Bila berbicara periwayat hadis yang berjumlah banyak tersebut, maka tidak akan lupa membicarakan Sahabat Nabi . Sahabat Nabi  sebagai periwayat hadis ditingkat pertama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam periwayatan hadis. Dalam periwayatan hadis tidak selalu para Sahabat Nabi  hadir dalam majelis Nabi  dan mendengarkan hadis langsung dari Nabi . Akan tetapi, bukan berarti Sahabat Nabi  kemudian menyepelekan untuk mendengarkan apa saja yang berasal dari Nabi . Para Sahabat Nabi  berambisi untuk mengambil, memperoleh dan mengikuti apa yang mereka saksikan atau yang mereka dengar, sehingga diantara mereka saling bergantian untuk menghadiri majelis Nabi , dari hari kehari agar mereka dapat saling memberitahu ilmu yang didapat dari Nabi . Sebagaimana kisah sahabat Umar bin al-Khattab  dan tetangganya.
Tidak ada sensus yang jelas berapa jumlah Sahabat Nabi . Tetapi bila penulis merujuk kepada informasi Abu> Zur’ah al-Razi> yang berkata: “Rasulullah  wafat sedangkan terdapat seratus empat belas ribu Sahabat Nabi  yang mendengarkan dan meriwayatkan darinya”, maka diperkirakan jumlah Sahabat Nabi  yang terlibat dalam civitas periwayatan hadis (Tahammul wa al-Ada’) adalah sekitar angka tersebut.
Mengingat kedudukan Sahabat Nabi  yang sangat penting dalam periwayatan hadis, sedang Sahabat Nabi  yang terlibat dalam periwayatan hadis juga berjumlah banyak, maka disinilah diperlukan pemilihan dan pemilahan atau katakanlah sebuah klasifikasi Sahabat Nabi , yang dalam terminologi ilmu hadis disebut sebagai T{abaqah.
Salah satu karya yang membahas thabaqat periwayat hadis secara komprehensif adalah al-T{abaqa>t al-Kubra> karya Muh{ammad bin Sa’ad. Sebagai salah satu karya awal yang masih ada, setelah sebelumnya mengulas beberapa riwayat tentang para Nabi dan Rasul sampai Rasulullah . Kitab ini memberikan informasi biografi periwayat hadis dari tingkat Sahabat Nabi  sampai masa pengarang. Adapun Ibn Sa’ad sendiri adalah seorang Atba’ al-Atba’ al-Tabi’in.
Kitab-kitab yang membahas Sahabat Nabi  ada lebih dari tigapuluh kitab, namun yang terkenal ada tiga yaitu: al-Isti’a>b fi Ma’rifat al-As{ha>b karya Ibn ‘Abd al-Ba>rr al-Qurthubi> al-Namra>, Usd al-Gha>bah karya ‘Izz al-din bin A>tsir Abi> al-Hasan ‘Ali bin Muh{ammad al-Jazari> (Ibn A>tsir), al-Isha>bah fi Tamyi>z al-Shaha>bah karya Ibn H{ajar al-‘Asqalani>. Ketiga kitab ini walaupun secara khusus membahas Sahabat Nabi  tetapi pembahasannya secara mu’jam (baca: indeks), yaitu diurutkan berdasarkan huruf hijaiyyah dari masing-masing nama periwayat hadis ditingkat Sahabat Nabi . Memang dengan sistem ini memudahkan dalam merujuk nama Sahabat Nabi  yang akan dicari, tetapi klasifikasi atas Sahabat Nabi  bisa dikatakan tidak ada.
Adapun dalam kitab al-T{abaqa>t al-Kubra> karya Ibn Sa’ad para Sahabat Nabi  diklasifikasikan dalam berbagai T{abaqah, kemudian lebih lanjut dalam kitab-kitab Ilmu Hadis diungkapkan bahwa Ibn Sa’ad mengklasifikasikan Sahabat Nabi  menjadi lima t}abaqah, namun –jika dilakukan pembacaan ulang- pembahasan lima t}abaqah tersebut hanya mencakup t}abaqah Sahabat pria, sedangkan Sahabat wanita ternyata oleh para Ulama tidak diikutkan dalam lima t}abaqah tersebut, padahal Ibn Sa’ad membahasnya juga, disamping itu ada beberapa klasifikasi Sahabat Nabi  dengan memperhatikan perpindahan tempat yang mereka lakukan baik ketika Nabi  masih hidup maupun sesudah beliau wafat.
Beberapa point diatas, sedikit memberikan gambaran yang membedakan karya Ibn Sa’ad menjadi berbeda dengan karya-karya lainnya dibidang Rijalil Hadis pada umumnya dan khususnya pada tingkat Sahabat Nabi .

B. Biografi Ibn Sa’ad
1. Nama, Lahir dan Wafat
Ibn Sa’ad nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sa’ad bin Mani>’ al-Qurasyi>. Kunnyah-nya Abu> Abdullah al-Bas{ri>, ada juga yang menyebutnya Abu> Abdullah al-Bagdadi>. Laqab-nya al-Hasyi>mi>, al-Bashri>, al-Bagdadi>, al-Zuhri>, al-Qurasyi> dan Ka>tib al-Wa>qidi>. Ia juga disebut al-Hasyi>mi, karena Ia seorang hamba sahaya yang dimerdekakan (Mawla) oleh Bani Hasyim, namun ada yang berpendapat sebagai hamba sahaya yang dimerdekakan (Mawla) oleh Bani Zuhrah, tetapi ada juga yang menyatakan karena salah seorang moyangnya adalah hamba sahaya milik al-Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin al-Abbas al-Hasyim. Tidak ada data sama sekali siapa nama Ibu dari Ibn Sa’ad, ini tampaknya dikarenakan bahwa ia berasal dari kalangan budak, sehingga tidak terekam dalam data sejarah biografinya.
Ibn Sa’ad lahir di Bashrah pada tahun 160 H, ada juga yang berpendapat 168 H, -yang terakhir lebih banyak dianut oleh para ulama- sehingga ia mendapat sebutan Ibn Sa’ad al-Bashri>. Kemudian semenjak kecil, ia menuntut ilmu kepada ulama dimana ia tinggal dan ketika menginjak dewasa ia kemudian berkunjung ke berbagai kota dalam rangka mencari ilmu (Rihlah al-‘Ilmiyah) diantaranya adalah Madinah, Kufah dan Baghdad.
Ia berguru dan mengikuti majelis-majelis ilmu dari ulama-ulama besar pada masanya. Pada akhirnya ia menetap di Baghdad sampai wafat pada hari Ahad keempat khalwun, tanggal 26 bulan Jumadil al-Akhir, tahun 222 H, ada juga yang menyatakan 230 H / 844 M –pendapat pada tahun yang terakhir yang banyak disetujui- dalam usia 62 tahun dan dikuburkan di Pemakaman Pintu kota Syam.
2. Guru-guru, Murid-murid dan Aktivitas Keilmuan
a. Guru-guru
Dalam perjalanannya mencari ilmu Ibn Sa’ad kemudian berguru kepada sejumlah guru dan mentransferkan riwayat dari mereka. Adapun diantara guru-guru Ibn Sa’ad adalah sebagai berikut:
1. Ahmad bin Abdullah bin Yunus al-Kufi>
2. Ahmad bin Muhammad bin al-Wali>d al-Azraqi> al-Makki>
3. Isma’il bin Ibrahim bin Muqsim al-Kufi>, terkenal dengan sebutan Ibn ‘Aliyah
4. Hajjaj bin Muhammad al-Mus{ais{y al-A’wa>r
5. Hajjaj bin Minhal al-Anmat{i> al-Bashri>
6. Ishaq bin Abi> Israil al-Marwazi>
7. Al-Husain bin al-Mutawakkil bin Abdurrahman maula al-Hasyimi> al-‘Asqalani>
8. Sa’ad bin Ibrahi>m bin Sa’ad bin Ibrahim al-Zuhri> al-Baghdadi>
9. Sufya>n bin ‘Uyainah al-Kufi> al-Makki>
10. Syu’aib bin Harb al-Khurasani> al-Baghdadi>
11. ‘Abd al-Rahma>n bin Mahdi> al-Bashri>
12. ‘Abd al-‘Azi>z bin Abdullah bin Yahya al-Awisi>
13. Abdullah bin Sha>li>h al-Mishri<, Ka14. Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Mishri> al-Faqih
15. Al-‘Ala’ bin Abdul Jabar al-Bashri> al-‘Athar
16. ‘Amr bin al-Haitsam bin Qathn al-Bashri>, Abu Qathn
17. al-Fadhl bin Dukain al-Kufi>
18. Qubais}ah bin ‘Uqbah bin Muhammad al-Sawai>
19. Muhammad bin Umar bin Waqid al-Aslami>, al-Wa>qidi>
20. Muhammad bin al-Fadhl al-Sududi>, terkenal dengan sebutan ‘Arim bin al-Fadhl al-Bashri>
21. Mutharri>f bin Abdullah al-Yasari> al-Asham al-Madani>
22. Mu’in bin ‘Isa bin Yahya al-Asyja’i> al-Qazaz al-Madani>
23. Yahya bin Sa’id al-Qaththan al-Bashri>
24. Yazid bin Harun maula bani Sulaim al-Wasithi>
25. Waki’ bin al-Jarra>h
Dan masih banyak lagi dari guru-gurunya yang merupakan ulama besar pada zamannya. Semasa hidupnya dalam mencari ilmu, ia bertemu dengan sejarawan besar al-Wa>qidi> –pengarang kitab al-T}abaqa>t dan al-Maga>zi>- yang selanjutnya ia selalu menyertai dan menulis untuknya, sehingga ia dikenal sebagai Ka>tib al-Waqidi> (Sekretaris al-Waqidi).
Meskipun ahli hadis banyak yang mengkritik al-Wa>qidi>, namun mereka mempercayai muridnya Ibn Sa’ad. Dalam berbagai hal Ibn Sa’ad banyak dipengaruhi oleh al-Wa>qidi>, namun ia melampaui gurunya. al-Wa>qidi> terkesan “kurang taat” dengan metode ahli hadis, sedangkan Ibn Sa’ad justru dengan metodenya merupakan tipologi ahli hadis. Dalam menyusun karyanya al-T{abaqa>t al-Kubra>, Ibn Sa’ad banyak menyandarkan kepada karya-karya al-Wa>qidi>. Namun ia tidak lupa menyaring riwayat yang datang dari gurunya tersebut dan menguatkan dengan riwayat gurunya yang lain, semisal dari Hisyam bin Muh{ammad bin al-Sa>ib al-Kalbi>, seorang sejarawan dan ahli dalam nasab. Sehingga ia tidak menelan mentah-mentah riwayat yang berasal dari al-Wa>qidi>.
b. Murid-murid
Selain berguru kepada ulama dimasanya, Ibn Sa’ad juga mempunyai murid-murid yang meriwayatkan darinya, terutama sekali yang kemudian meriwayatkan karyanya, kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>. Diantara mereka adalah:
1. Al-Hari>s’ bin Muhammad bin Abi Usamah al-Baghdadi>, ia merupakan rawi dari kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>
2. Al-Husain bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahma>n bin al-Fahm al-Baghdadi>, juga rawi dari kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>. Muridnya ini yang kemudian memasukkan biografi Ibn Sa’ad dalam kitabnya.
3. Abu> Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufya>n bin Abi> al-Dunya al-Baghdadi>
4. Ahmad bin Ubaid bin Nas}ih al-Baghdadi> al-Nahwi>, terkenal dengan sebutan Abu ‘Us}aidah
5. Ahmad bin Yahya bin Jabir al-Baladzuri> al-Ka>tib
6. Abu al-Qa>sim al-Baghawi>
Dan masih banyak lagi murid-murid yang meriwayatkan darinya.
c. Aktivitas Keilmuan
Ibn Sa’ad merupakan tipologi ulama ahli hadis yang memiliki kepedulian dan perhatian yang besar terhadap sejarah Nabi dan umat Islam. Studi dan kajiannya mencerminkan usahanya dalam mencari, mengumpulkan dan merekonstruksi semua berita dari pendahulunya. Banyak ulama yang mengakui kredibilitas dan kapabilitas keilmuan dan keutamaan Ibn Sa’ad. Diantara pendapat ulama terhadap Ibn Sa’ad adalah sebagai berikut:
 al-Kha>tib al-Baghdadi> dalam Tari>kh Baghdad: “Beliau adalah seorang ahli ilmu dan keutamaan”
 Ibn Nadi>m dalam al-Fihris: beliau adalah seorang yang ‘Alim tentang berita sahabat dan tabi’in.
 Dihikayatkan juga oleh al-Mizzi> dalam Tahdzib al-Kama>l bahwa Ibn Ma’in menuduh Ibn Sa’ad dengan kebohongan
 Ibn Shalah dalam Muqaddimah: ia seorang yang Tsiqat hanya saja ia banyak meriwayatkan dari orang-orang yang D{a’i>f, semisal Muhammad bin Umar al-Wa>qidi>
 Al-Dzahabby dalam al-Mizan: orang yang kuat dan jujur
 Abu Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta’dil: seorang yang jujur
 Ibn Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib: salah satu dari Huffadz yang agung dan kuat dalam pengetahuan sejarah.
Diantara berbagai riwayat jarh dan ta’dil diatas hanya satu riwayat tentang kritikan Yahya bin Ma’in terhadap Ibn Sa’ad. Namun dari berbagai penjelasan ulama, ditemukan bahwa tuduhan kebohongan oleh Yahya bin Ma’in kelihatannya berkaitan dengan hadis munkar yang diriwayatkan dari al-Wa>qidi>, jadi bukan pada kapasitas periwayatan Ibn Sa’ad. Dan masih banyak lagi pendapat dan pujian ulama terhadap Ibn Sa’ad, menunjukkan kelebihan dan keluasan ilmunya dalam hal ilmu sejarah pendahulunya.
Ibn Sa’ad memiliki gelar kehormatan yang banyak. Ia adalah seorang al-Hafiz{, al-‘Allamah, al-Hujjah, al-Tsiqah dan lain sebagainya. Ini membuktikan keilmuan Ibn Sa’ad yang luas, baik itu ilmu Sejarah maupun Hadits; meliputi pelacakan dan periwayatannya, keghariban dan pemahamannya. Ia mengetahui berita-berita Nabi Muhammad , Sahabat Nabi  dan orang-orang sesudah mereka. Disamping itu Ibn Sa’ad adalah seorang yang saleh, ia selama 60 tahun berpuasa seperti Nabi Daud, yaitu sehari puasa dan sehari lagi tidak.
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa dalam menyusun kitabnya Ibn Sa’ad banyak bersandar pada karya gurunya, al-Wa>qidi>. Tetapi ia melampaui gurunya dalam pengorganisasian dan pembagian sistematik karyanya ke dalam bab-bab. Ia juga memperkenalkan penambahan penting kepada studi Sirah dengan menambahkan bagian-bagian tentang “tanda misi kenabian” (‘Alama>t al-Nubuwwah) dan tentang sifat kebiasaan dan karakteristik Nabi Muhammad  (S{ifat akhlaq al-Nabi>). Perkembangan ini menurut Gibb, merupakan salah satu tahap lebih maju dalam penyatuan unsur hadis asli dengan arus kedua tradisi literatur yang bertumpu pada seni kisah rakyat seperti dikembangkan oleh Wahb bin Munabbih.
Ibn Sa’ad diakui oleh para peneliti sebagai seorang sejarawan yang menggunakan metode ilmu hadis, atau dengan kata lain ia adalah seorang ahli hadis (Muhaddits) yang memberikan kontribusi kepada disiplin ilmunya dengan kajian penulisan sejarah. Dalam kajian penulisan sejarah (Historiografi) masa awal Islam terdapat tiga aliran, yaitu; aliran Yaman, aliran Madinah dan aliran Irak. Diantara ketiga aliran tersebut Ibn Sa’ad dimasukkan kedalam dua aliran, yaitu aliran Madinah dan aliran Irak. Ia dimasukkan kedalam aliran Irak dikarenakan melihat kenyataan bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan di Irak, sedangkan yang memasukkannya kedalam aliran Madinah berargumen bahwa metode dan materi sejarah yang ditulisnya sesuai dengan aliran Madinah.

3. Setting Sosial Masa Ibn Sa’ad
Jika menggunakan pemetaan dalam perkembangan ilmu hadis, maka kehidupan Ibn Sa’ad berada pada akhir masa pembukuan hadis (عصر الكتابة والتدوين) dan awal masa penyaringan, pemeliharaan dan pelengkapan(عصرالتجريد والتصحيح والتنقيح) .
Masa pertama merupakan perkembangan yang signifikan dalam ilmu hadis, karena terjadi tradisi massal penulisan dan pembukuan (kodifikasi) hadis dari tradisi hafalan yang sudah ada. Disinilah muncul kitab al-Muwatta’ karya Malik bin Anas, kemudian disusul pada masa selanjutnya yang berusaha melakukan penyaringan dan pemisahan hadis Nabi  dari perkataan Sahabat Nabi  dan fatwa Tabi’in. karya pada masa ini seperti Musnad karya Ahmad bin Hanbal, sampai Kutub al-Sittah (Enam kitab hadis standar). Disamping itu mulai disusunnya dasar-dasar ilmu hadis baik secara dirayah maupun riwayah.
4. Hasil karya Ibn Sa’ad
Ibn Nadhim dalam karyanya al-Fihrist menyebutkan bahwa Ibn Sa’ad hanya memiliki 3 karya, namun jika merujuk kepada Haji Khalifah dalam karyanya Kasyf al-Dzunnun maka semua karya Ibn Sa’ad adalah sebagai berikut: kitab Akhba>r al-Nabi>, al-T}abaqa>t al-S}agi>r, al-T{abaqa>t al-Kubra>, al-Tari>kh, al-Zukhru>f al-Qashri> fi> Tarjamah Abi> al-Hasan al-Bashri>, al-Qas}idah al-Khawaniyah fi> Iftikhar al-Qahtha>niyyin ‘ala al-‘Adnaniyyin.
Namun sebagian peneliti berpendapat –dan menyetujuinya- bahwa kitab al-Tarikh dan kitab al-T{abaqa>t al-S}agi>r merupakan dua juz pertama dari kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>. Namun demikian tidak mengurangi keluasan Ibn Sa’ad dalam hal hafalan yang kuat dan hubungan yang erat dengan sumber-sumber riwayat sejarah pada masanya.
5. Metode Ibn Sa’ad dalam al-T{abaqa>t al-Kubra>.
Ibn Sa’ad adalah sejarawan ahli hadis, maka dalam karyanya pun ia menggunakan metode ahli hadis, ia menggunakan lafal-lafal periwayatan sebagaimana ahli hadis, seperti; Haddatsana>, Anbaana>, Akhbarana> dan Rawa> (حدثنا, أنبأنا, أخبرنا, روى ). Al-T{abaqa>t al-Kubra> diriwayatkan melalui murid-muridnya, pada bagian awal tidak ada pengantar dari Ibn Sa’ad sebagai pengarangnya, akan tetapi sebelum masuk pembahasan pertama dimulai dengan rangkaian sanad riwayat al-T{abaqa>t al-Kubra>.
Sanad periwayatannya adalah sebagai berikut: “Akhbarana> Syaraf al-Din Abu Muhammad ‘Abd al-Mu’min bin Khalaf bin Abi> al-Hasan al-Dimyat}i>, Qira’at ‘alaihi wa Ana Asma’u Qa>la: Akhbarana> Syamsu al-Din Abu> al-Hajjaj Yusuf bin Khali>l Ibn ‘Abdullah al-Dimsyaqi> Qa>la: Akhbarana> Abu Muhammad bin Abdullah bin Dahbal bin ‘Ali> bin Ka>rih Qa>la: Akhbarana> al-Qad}i> Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Abd al-Baqi> bin Muhammad bin Abdullah al-Ans}ari> Qa>la: Akhbarana> Abu> Muhammad al-Hasan bin ‘Ali> bin Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah al-Jauhari> ‘an Abi> Umar Muhammad bin al-‘Abba>s bin Muhammad bin Zakariya> bin Yahya bin Mu’a>dz bin Hayyawaih al-Khazzaz ‘an Abi> al-Hasan Ahmad bin Ma’ru>f bin Bisyr bin Musa al-Khasyab ‘an Abi> Muhammad al-Hari>ts bin Muhammad bin Abi> Usa>mah al-Tamimi> ‘an Abi Abdullah Muhammad bin Sa’d bin Mani>’ Qa>la.” Dalam rangkaian sanad tersebut terdapat 9 orang termasuk Ibn Sa’ad, jadi jelas bahwa periwayatan Kitab al-T{abaqa>t al-Kubra> dari guru ke murid dengan sanad, sebagaimana layaknya periwayatan hadis.
Dalam menulis dan membahas kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>, Ibn Sa’ad menggunakan metode dekriptif-analitis. Artinya dalam menulis kitab tersebut beliau mencoba secara deskriptif menyajikan sebuah tema atau judul dengan memaparkan riwayat tentang sebuah peristiwa atau sesuatu hal dari seorang periwayat, yang kemudian dikomparasikan dengan menuliskan riwayat-riwayat lain dari periwayat lainnya tentang riwayat yang menjadi fokus bahasan, sebagaimana susunan sanad sebuah hadis. Dan ia memberikan analisis atas berbagai riwayat yang dikemukakan, dan terkadang ia mengkritik sebuah riwayat dengan disertai argumentasi, misalnya ketika ia menyebutkan riwayat bahwa Nabi  menangis dikuburan ibunya ketika beliau mengalahkan kota Makkah (baca: Fath Makkah), Ibn Sa’ad menyatakan bahwa riwayat tersebut keliru secara nyata, karena kuburan ibunda Nabi  bukan di Makkah, akan tetapi di Abwa’.
Ibn Sa’ad dengan karyanya al-T{abaqa>t al-Kubra> dimasukkan dalam kategori masa gerakan penelitian keshahihan hadis, dengan titik fokus pada kritik periwayat hadis, yang meliputi meneliti kredibilitas dan kapasitas intelektual periwayat hadis, kemudian memilah mereka kedalam berbagai kategori. Studi kritik ini setelah mengalami perkembangan kemudian disebut dengan ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’di>l, yang terpilah dalam berbagai sub bahasan, seperti al-D}u’afa’, al-‘Ila>l, al-Tsiqa>t, al-Rija>l, al-T}abaqa>t, al-Jarh wa al-Ta’di>l. Yang kemudian dilanjutkan oleh al-Bukhari> dengan karyanya Rijal al-Kabir (baca: al-Tari>kh al-Kabi>r).


C. Definisi Sahabat Nabi 
Ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikan Sahabat Nabi , berikut ini berbagai pendapat tentang definisi Sahabat Nabi :
Secara etimologis; kata (sahabat) الصحابة berasal dari kata dasar صحب yang memiliki derivasi kataصحبة (persahabatan), yang digunakan untuk setiap orang yang bergaul atau bersahabat dengan orang lain baik lama ataupun tidak. Jadi setiap orang yang menyertai, baik setahun, sehari ataupun hanya sesaat saja semuanya dikatakan sahabat kita. Dari kata tersebut kemudian secara khusus jika dikaitkan dengan Nabi , maka mengacu kepada sahabat Nabi . Selanjutnya akan dibahas secara lebih mendalam dalam terminologi sahabat Nabi .
Secara terminologis; definisi Sahabat Nabi  banyak diperdebatkan dikalangan ulama. Ahli hadis mendefinisikan Sahabat Nabi  secara sederhana; yaitu Setiap orang Islam yang melihat Rasulullah  atau definisi yang lain adalah setiap orang yang bertemu dengan Nabi  -walaupun hanya sesaaat- dalam keadaan beriman dan meninggal dunia masih memeluk Islam.
Pendapat diatas secara langsung merujuk kepada pendapat Muhammad bin Isma’il al-Bukhari> dalam Shahihnya yang memberikan definisi Sahabat Nabi ; orang yang bersahabat dengan Nabi  atau melihat beliau dalam keadaan islam maka ia adalah termasuk dari sahabatnya. Lebih lanjut Ibn Hajar al-‘Asqalani> memberikan penjelasan bahwa Sahabat Nabi  adalah orang yang bertemu dengan beliau -dalam keadaan beriman kepadanya, dan meninggal tetap dalam keadaan Islam.
Dari definisi yang diajukan oleh al-Bukhari> -ditambah dengan penjelasan Ibn Hajar al-‘Asqalani>- tersebut secara jelas disatu sisi, ia berusaha menyederhanakan dan melengkapi penjelasan sebelumnya yang diberikan oleh Ahmad bin Hanbal, yang mengatakan: “Sahabat Nabi  adalah semua orang yang bersahabat dengan Nabi  selama sebulan, sehari, sesaat, atau hanya melihatnya saja.” Dan penjelasan Ibn al-Madiny: “Sahabat Nabi  adalah semua orang yang bersahabat dengan Nabi  atau hanya melihatnya saja dalam sesaat.” Tambahan yang diberikan secara jelas adalah kriteria keislaman. Karena kita ketahui juga bahwa banyak orang munafiq yang melihat dan bergaul dengan Nabi , oleh karena itu mereka tidak bisa dianggap sebagai Sahabat Nabi .
Sedangkan disisi lain al-Bukhari> memberikan batasan persahabatan dengan Nabi  dengan pergaulan, penglihatan dan keislaman. Untuk keislaman jelas merupakan syarat mutlak, walaupun diselangi dengan kekafiran, seperti Abdullah bin Abi Sarh. Adapun orang yang masuk Islam dan bersahabat dengan Nabi , namun kemudian murtad dan meninggal dalam keadaan tersebut seperti; Ibn Hat}t}al, Rabi>’ah bin Umayyah, Miqya>s bin S}ababah dan lainnya, maka tidak dianggap sebagai Sahabat Nabi . Sedangkan untuk pergaulan dan penglihatan tampaknya merupakan pilihan. Dalam arti, jika seorang muslim yang bersahabat dengan Nabi  namun tidak mampu melihat seperti Ibn Ummi maktum yang buta. Atau ia hanya mampu melihat Nabi  -bahkan hanya dari kejauhan, namun ia tidak melakukan persahabatan (baca: pergaulan) yang lama dengan Nabi  karena keburu meninggal atau alasan lainnya, maka mereka tetap dianggap sebagai Sahabat Nabi . Jadi syarat penglihatan dan persahabatan disini dalam artian secara normal, bukan penglihatan dan persahabatan (baca: pertemuan) dalam mimpi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa persahabatan hanya dengan melihat Nabi  saja tidak cukup, kecuali ia meriwayatkan sebuah atau beberapa hadis. Dengan alasan, bagaimana mengetahui seseorang sebagai Sahabat Nabi  tanpa menuturkan dalam sebuah riwayat apapun tentang beliau. Namun ada juga yang menganggap bahwa penglihatan tanpa disertai persahabatan, maka tidak cukup dianggap sebagai Sahabat Nabi . Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dihadapan Abu> Zur’ah al-Razi> bahwa Anas bin Ma>lik  ditanya masih adakah Sahabat Nabi  yang hidup selain anda? Maka ia menjawab: “ada orang-orang Arab Badui yang melihat Nabi , akan tetapi orang yang bersahabat dengannya tinggal saya seorang.”
Menurut ahli ushul, Sahabat Nabi  adalah orang-orang yang bergaul lama dengan Nabi  dengan cara mengikuti dan mengambil sunnah-sunnahnya. Lebih lanjut diriwayatkan juga, bahwa Sa’id bin al-Musayyab mengatakan; seseorang tidak dianggap sebagai Sahabat Nabi , kecuali orang tersebut berada bersama dengan Nabi  selama satu atau dua tahun, atau ia pernah berperang bersama Nabi  dalam satu atau dua kali peperangan.
Ibn S{alah meragukan pendapat diatas, jika pendapat ini benar bersumber dari Sa’id bin al-Musayyab, maka pendapat ini lemah. Karena nampaknya motivasi dari pendapat ini adalah agar Jarir bin ‘Abdullah al-Bajali> dan orang yang sejenisnya tidak dapat dianggap sebagai Sahabat Nabi , padahal tidak ada seorang ahli pun yang memperselisihkan bahwa mereka adalah Sahabat Nabi . Sedangkan disisi lain sanad riwayat pendapat tersebut terdapat periwayat yang lemah (d}a’if), yaitu al-Wa>qidi>. Namun ada juga sebagian ahli hadis yang berpendapat seperti ahli ushul, sebagaimana diriwayatkan dan dishahihkan oleh al-Amidi> dan Ibn al-Hajib dengan mengacu juga kepada pernyataan Anas bin Malik  diatas.
Disamping itu al-Wa>qidi> juga mengatakan bahwa menurut pendapat ahli ilmu, Sahabat Nabi  adalah semua seorang yang melihat Nabi  sedangkan dia sudah mencapai usia dewasa dan memeluk Islam serta memahami urusan agama dan menerimanya dengan ridha, maka ia termasuk seorang Sahabat Nabi , walaupun dia hanya menyertai Nabi  sebentar dalam sehari.
Dari definisi yang diajukan al-Wa>qidi> tersebut, jelas ia tidak memasukkan kedalam golongan Sahabat Nabi , orang-orang yang melihat Nabi  namun belum cukup dewasa, walaupun mereka juga meriwayatkan hadis dari beliau, seperti Ibn ‘Abbas, salah seorang muktsir al-hadits, al-Hasan dan al-Husain dua cucu Nabi , Ibn Zubair dan lainnya.
Ibn Hazm dalam karyanya al-Ihka>m fi Us}ul al-Ahka>m mengatakan bahwa:
“Sahabat Nabi  adalah setiap orang yang duduk bersama dengan Nabi  dalam suatu majelis, walaupun sesaat dan dapat mendengar pembicaraan Nabi , walaupun hanya satu kalimat atau dapat melihat sesuatu dari pada Nabi , yang ia dapat memahaminya dan ia bukanlah termasuk orang yang munafiq dan terkenal sebagai munafiq sehingga ia mati dalam keadaan itu. Bukan pula orang yang diusir Nabi  dari Madinah lantaran ia berhak diusir, seperti Hait al-Mukhannats dan orang yang dipandang sama dengan dia.”

Definisi yang diberikan Ibn Hazm ini tampaknya definisi yang lumayan lengkap, walaupun terasa panjang. Ia menambahkan batasan kriteria kemunafikan.
Termasuk didalam definisi Sahabat Nabi  adalah orang yang merdeka maupun budak atau mawali, laki-laki maupun perempuan, manusia maupun jin. Adapun para malaikat tidak termasuk kedalam Sahabat Nabi , karena mereka bukan mukallaf.
Dari berbagai definisi Sahabat Nabi  yang diberikan para ulama diatas, dapat dipetakan beberapa hal yang menjadi titik kesepakatan maupun perbedaan dalam memberikan batas-batas seseorang termasuk kedalam golongan Sahabat Nabi  atau tidak, adalah sebagai berikut:
1) Islam
2) Pertemuan (al-Liqa’)
3) Penglihatan (al-Ru’yah)
4) Persahabatan/Pergaulan (al-Shuhbah/al-Majalasah)
5) Periwayatan hadis (al-Riwayah)
6) Cukup umur (al-Baligh)
Dari keenam batasan kriteria Sahabat Nabi  tersebut, keempat yang pertama disepakati oleh para ulama, sedangkan kedua yang terakhir masih diperdebatkan.
Bagaimana Ibn Sa’ad mendefinisikan Sahabat Nabi ? Tampaknya ia tidak secara khusus dan jelas memberikan sebuah definisi Sahabat Nabi . Namun jika membaca beberapa biografi Sahabat Nabi  yang terdapat dalam kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>, maka penulis cenderung memberikan sebuah pandangan bahwa Ibn Sa’ad cenderung kepada pendapat ahli hadis, ini dibuktikan dengan adanya biografi delegasi Arab kepada Rasulullah . Artinya ia memberikan kriteria sederhana terhadap definisi Sahabat Nabi .
Namun perlu juga digaris bawahi, meskipun Ibn Sa’ad memakai definisi yang longgar sebagaimana definisi ahli hadis, namun dalam al-T{abaqa>t al-Kubra> kita tidak bisa berharap menemukan biografi Sahabat Nabi  sebanyak pada kitab yang secara khusus membahas Sahabat Nabi , seperti al-Isti’a>b, Usd al-Gha>bah dan al-Isha>bah. Apalagi mampu mencakup semua biografi Sahabat Nabi  -sebagaimana informasi Abu> Zur’ah al-Razi>- yang mencapai kurang lebih seratus empat belas ribu Sahabat Nabi  yang mendengarkan dan meriwayatkan darinya.

D. Klasifikasi Sahabat Nabi  oleh Ibn Sa’ad
Klasifikasi Sahabat Nabi  dalam al-T{abaqa>t al-Kubra> secara umum dibagi menjadi dua, yaitu: Sahabat pria dan perempuan. Adapun klasifikasi sahabat pria adalah sebagai berikut:
I. Sahabat Pria 
1. Sahabat-sahabat Ahl al-S{uffah 
2. Utusan Nabi  kepada para raja
3. Delegasi-delegasi Arab kepada Nabi 
4. Komandan Ekspedisi Militer pasukan Nabi 
5. Sahabat-sahabat  yang berfatwa di Madinah pada masa dan sesudah Nabi 
6. Sahabat-sahabat  yang mengumpulkan al-Qur'an pada masa Nabi 
7. T{abaqa>t Muhajirun Ahli Badar
8. T{abaqa>t Anshar Ahli Badar
9. Pimpinan Suku peserta malam Bai’at al-‘Aqabah
10. T{abaqa>t kedua Muhajirin dan Anshar
11. Sahabat yang masuk Islam sebelum Fathu Makkah
12. Sahabat Nabi  yang tinggal di Makkah
13. Sahabat Nabi  yang tinggal di T}a>if
14. Sahabat Nabi  yang tinggal di Yaman
15. Sahabat Nabi  yang tinggal di Yamamah
16. Sahabat Nabi  yang tinggal di Bahrain
17. Sahabat Nabi  yang tinggal di Ku>fah
18. Sahabat Nabi  yang tinggal di Bas}rah
19. Sahabat Nabi  yang tinggal di al-Madain
20. Sahabat Nabi  yang tinggal di Khurasan
21. Sahabat Nabi  yang tinggal di Syam
22. Sahabat Nabi  yang tinggal di al-Jazirah
23. Sahabat Nabi  yang tinggal di Mesir
II. Sahabat Wanita
Sahabat wanita  oleh Ibn Sa’ad dibahas dalam satu juz tersendiri, yaitu juz terakhir dari kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>. Ia membagi Sahabat wanita  menjadi dua bagian; keluarga Nabi  dan bukan keluarga beliau . Kemudian dari keduanya dijabarkan lagi menjadi beberapa bagian. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Keluarga Nabi 
i. Putri-putri Nabi 
ii. Bibi-bibi Nabi dari pihak Ayah 
iii. Putri-putri Paman Nabi 
iv. Istri-istri Nabi 
2. Bukan Keluarga Nabi
i. Wanita yang Pernikahannya dengan Nabi  tidak Sempurna dan Wanita yang diceraikan Beliau.
ii. Wanita yang dilamar Nabi  tetapi tidak dinikahi dan Wanita yang Menawarkan dirinya kepada Nabi 
iii. Wanita Quraisy, sekutu mereka, mawali mereka dan wanita Arab yang asing
iv. Wanita Muhajirin bukan Quraisy dan wanita Arab yang asing
v. Wanita Anshar dari Berbagai Suku al-Aws dan al-Khajraj
vi. Wanita yang tidak Meriwayatkan Hadis Langsung dari Nabi 

E. Analisis atas Klasifikasi Sahabat Nabi  oleh Ibn Sa’ad
Secara garis besar bisa terlihat bahwa Ibn Sa’ad dalam mengumpulkan biografi Sahabat Nabi  ia menggunakan klasifikasi t}abaqah. Namun meskipun begitu, klasifikasi yang ada jauh lebih luas dibandingkan dengan definisi t}abaqah dalam kitab ‘Ulu>m al-Hadi>ts. Jika dikaji secara lebih mendalam, terlihat jelas bahwa Ibn Sa’ad hanya menggunakan redaksi t}abaqah dibeberapa tempat, selebihnya, ia menggunakan redaksi tasmiyah (nama-nama), bahkan untuk klasifikasi Sahabat Wanita, ia sama sekali tidak menggunakan redaksi t}abaqah, sebagaimana terlihat dalam klasifikasi diatas.
Ibn Sa’ad membagi Sahabat Nabi  antara pria dan wanita, dan dalam mengklasifikasikan keduanya Ibn Sa’ad memiliki sudut pandang dan asumsi dasar yang berbeda. Untuk Sahabat pria  klasifikasi didasarkan pada unsur waktu masuk Islam, jabatan yang diberikan Nabi , posisi Sahabat Nabi  dalam perjuangan Islam, perang yang diikuti dan tempat tinggal Sahabat Nabi . Karena Ibn Sa’ad menggunakan kategori yang banyak dan terkadang terkesan tumpang tindih, maka sering terjadi pengulangan biografi Sahabat Nabi . Artinya seorang Sahabat Nabi  dengan menggunakan berbagai sudut pandang tertentu, maka ia akan masuk ke dalam lebih dari satu t}abaqah. Namun meskipun terjadi pengulangan, riwayat yang disebutkan selalu berbeda dengan tempat sebelumnya, tergantung dengan bahasan yang ada. Artinya ia berusaha melengkapi dan memberikan sudut pandang yang berbeda atas biografi Sahabat Nabi .
Sedangkan untuk klasifikasi t}abaqah sahabat wanita  sangat unik, bahkan jika diakui bahwa klasifikasi sahabat wanita tersebut sebagai t}abaqah tersendiri, maka definisi atas t}abaqah menjadi lebih berkembang. Karena selama ini t}abaqah hanya didefinisikan sebagai kedekatan antar periwayat hadis dalam umur dan isnad, atau hanya isnad saja. Ibn Sa’ad mengklasifikasikan t}abaqah sahabat wanita  tidak hanya berdasarkan umur atau sanad. Tetapi lebih dari itu ia mengklasifikasikan juga berdasarkan kekeluargaan dengan Nabi , lamaran dan pernikahan dengan Nabi  walaupun tidak sempurna, berdasarkan klasifikasi muhajirin dan Anshar, suku dan keluarga asal mereka, dan bersahabat (baca: melihat atau mengenal) dengan Nabi , namun tidak meriwayatkan hadis secara langsung dari beliau.
Dari eksplorasi dan telaah yang telah disebutkan diatas, maka pernyataan bahwa Ibn Sa’ad mengklasifikasikan t}abaqah Sahabat Nabi  dalam lima t}abaqah –sebagaimana dalam kitab-kitab ‘Ulum al-Hadits- tidak sepenuhnya tepat. Karena kurang –untuk tidak mengatakan tidak- mewakili penjelasan sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-T{abaqa>t al-Kubra>. Seandainya tepat pun, klasifikasi lima t}abaqah tersebut hanya meliputi t}abaqah sahabat pria , sedangkan Ibn Sa’ad dengan al-T{abaqa>t al-Kubra>-nya juga membahas t}abaqah sahabat wanita .
Sebagai karya awal yang sampai ketangan kita, al-T{abaqa>t al-Kubra> disatu sisi tidak hanya menyajikan narasi biografi Sahabat Nabi  namun ia juga mengulas biografi Tabi’in sampai masa penulis. Maka dari itu dibeberapa tempat, terdapat juga para Sahabat Nabi  yang memiliki periwayatan hadis kepada Tabi’in, terutama Khulafa’ al-Rasyidin. Disisi lain biografi Sahabat Nabi  yang ada didalamnya tidak semuanya lengkap, sering yang ada hanyalah sebuah nama dan nasabnya saja tanpa ada riwayat yang mendukung tentang persahabatannya dengan Nabi . Namun hal ini tidak mengurangi kelebihan al-T{abaqa>t al-Kubra> sebagai karya awal yang ensiklopedis dalam merintis data biografi periwayat hadis, yang kemudian dilanjutkan ulama setelahnya.













DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw. Muhammad Muhammad, al-Hadits wa al-Muhadditsu>n aw ‘Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1404 H/1984 M)
al-A, Saif al-Di>n Abi> al-Hasan ‘Ali> bin Abi> ‘Ali> bin Muh{ammad, al-Ihka>m fi> Us{ul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H/ 1996 M
al-Asfahani, al-Ra>ghib >, Mu’jam Mufrada>t Alfa>dz al-Qur'a>n, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid Kedua (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).
----------------, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999)
al-‘Asqalani>, Syiha>b al-Di>n abu al-Fad}l Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar, [w. 852 H], Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Da>r al-Shadir, t.th.)
-----------------, Syihab al-Din Abu> al-Fad{l Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar [w. 852 H] al-Isha>bah fi Tamyi>z al-Shaha>bah, (Beirut: Dar Ji>l, 1992/1412).
-----------------, Syihab al-Di>n abu> al-Fad}l Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar, [773-852 H], Fath al-Ba>ri> fi Syarh Shahi>h al-Bukhari>, (Beirut: Maktabah Salafiyah, t.th.)
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktualitas dan aktor Sejarah, (Ed.) Idris Thaha. (Jakarta: Gramedia, 2002)
al-Baghdadi>, Abu> Bakar Ahmad bin Ali al-Kha>tib, [w. 463 H], Tari>kh Bagdad aw Madinat al-Sala>m Mundu Ta’sisiha hatta Sanat 463 H. (Kairo: Maktabah al-Khaniji> dan Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.)
--------------, Abu> Bakar Ahmad bin Ali al-Kha>tib, [w. 463 H], Kitab al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah, (Beirut: Da>r al- Kutub al-Haditsah, tt.)
al-Bandari>, ‘Abd al-Gaffar Sulaiman dan Sayyid Kusrawi> Hassan, Mausu’a>t Rija>l al-Kutub al-Tis’ah. (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th)
Beeston, AFL., dkk (Ed.), The Cambridge History of Arabic Literature, (London: Cambridge University Press, 1983)
al-Bukhari>, Muhammad bin Isma’il, al-Ja>mi al-Shahi>h (Shahi>h al-Bukhari), (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Duri, AA., The Rise of History Among The Arabs, Translated. Lawrence I. (Princeton: Princeton University Press, 1983)
al-Dzahabbi>, Syam al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsma>n, Siyar al-A’lam wa al-Nubala’. (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1990)
---------------, Syamsu al-Di>n Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsma>n al-Dzahabbi>, al-Mugni> fi> al-D{u’afa’, Tahqiq Nu>r al-Di>n ‘Itr (tkp:tp, t.th).
---------------, Abu> Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Utsman [w. 748H], Miza>n al-I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l. (Beirut: Da>r Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa> al-Babi> al-Halabi> wa Syirkuhu, t.th.)
---------------, al-Ka>syif fi> Ma’rifah Man lahu Riwayat fi al-Kutub al-Sittah. (Beirut: Da>r al-Kutub al-Haditsiyah, t.th.)
----------------, Imam Syam al-Di>n Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsma>n, Tadzkira>t al-Huffa>dz, Juz. II(Beirut: Da>r Ihya’ al-Tura>ts al-‘Araby, tt.)
Haji> Khali>fah, al-Mawla Must}afa bin Abdullah al-Qast}ant}ani> al-Rumi> al-Hanafi> (w.1067H), Kasyf al-Dzunnu>n ‘an Asamy al-Kutub wa al-Funu>n, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M)
Hamadah, Fa>ruq, al-Manhaj al-Isla>mi> fi> al-Jarh wa al-Ta’di>l; Dirasat Manhajiyah fi ‘Ulu>m al-Hadits, (Rabat: Dar Nasyr al-Mu’arafah, 1404 H/1988 M)
al-Hanbali>, Abu> al-Fala>h Abdul Hayy bin al-‘Imad [w. 1089], Syadzara>t al-Dzaha>b fi Akhba>r Man Dzahaba, (Beirut: Maktabah al-Tija>ry li al-Thab’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi>’)
al-Hasani>, Muhammad bin ‘Alwi> al-Maliki>, al-Minha>l al-Lathi>f fi> Us{ul al-Hadis’ al-Syari>f, (Jeddah: S{ahar, tt.p)
Ibn Atsir, ‘Izz al-din bin A>tsir Abi> al-Hasan ‘Ali bin Muh{ammad al-Jazari, Usd al-Gha>bah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M/1414 H).
Ibn Hazm, Abu> Muhammad ‘Ali> bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Dhahiri> [384-456 H], al-Ihka>m fi Us}ul al-Ahka>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt)
Ibn Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi> al-Busti> [w. 354 H/965 M] Kitab al-S'iqa>t, Cet. I (Hyderrabad-Deccan: Majlis Da>irah al-Ma’ari>f al-‘Us’maniyah, 1973 M/1393H).
Ibn Kas’i>r, Abu> al-Fida’ Isma’il, al-Ba’is’ al-Has’is’ Ikhtis{ar ‘Ulu>m al-Hadis’, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996 M/1416 H).
Ibn Kha>likan, Abu al-‘Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Kha>likan, Wafaya>t al-A’yan wa Anba>’ Abna>’ al-Zaman, Tahqiq Dr. Ihsan Abba>s (Beirut: Da>r al-Tsaqafah, 1981)
Ibn Mandzu>r, Abi> al-Fad}l Jamal al-Di>n Muhammad bin Makram Ibn Mandzu>r al-Afriqi> al-Mishri>, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1414H/1994M)
Ibn Nadi>m, Abi> al-Fara>j Muhammad bin Abi> Ya’qub Ishaq Ibn Nadi>m [w. 380H], al-Fihrist, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1416H/1997M)
Ibn Sa’ad Muhammad bin Sa’d bin Mani>’ al-Hasyimi> al-Bashri>, al-T{abaqa>t al-Kubra>, tahqi>q Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘At}a’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1410 H/ 1990 M)
-----------, Translated Aisha Bewley, The Women of Madina, (London: Taha Publishing Ltd., 1995)
-----------, Aisha Bewley, Purnama Madinah, (Bandung: Al-Bayan, kelompok penerbit Mizan, 1997)
al-‘Iraqi>, Al-Hafidz Zain al-Di>n ‘Abd al-Rahi>m bin al-Husain [725-806 H], al-Taqyi>d wa al-Idha>h Syarh Muqaddimah Ibn Shala>h, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401H/1981M)
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
-----------------------, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
‘Itr, Nu>r al-Di>n, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadits, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992)
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Us{ul al-Hadis' ‘Ulumuhu wa Must{ala>huhu, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1975 M/1395 H)
Mahmu>d, ‘Abd al-Hali>m, al-Sunnah fi> Maka>natiha wa fi> Tari>khiha, (Kairo: al-Maktabah al-Tsaqafiyah, Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1967)
al-Mizzi>, Jamal al-Di>n Abi> al-Hajja>j Yusuf Tahdzib al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l. (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994).
al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Terj. Syarif Hade Masyah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
al-Qurthubi>, Ibn ‘Abd al-Ba>rr al-Namra> [w.463 H], al-Isti’a>b fi Ma’rifat al-As{ha>b, dalam pinggiran kitab al-Isha>bah fi Tamyi>z al-Shaha>bah, karya Ibn Hajar al-‘Asqalani>(Beirut: Da>r al-S{adr, t.th.)
al-Razi>, Abu> Muhammad ibn Abu> Ha>tim Muhammad ibn Idris ibn al-Munz}ir al-Tamimi> al-Handzali>, Jarh wa al-Ta’di>l. (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah., t.th.)
al-Shafadi>, Shala>h al-Di>n Khali>l bin Aibak al-Shafadi>, al-Wafi> bi al-Wafaya>t, (German: Wiesbaden, 1974)
al-Sakhawi>, Muhammad bin ‘Abd al-Rahma>n al-Sakhawi>, Fath al-Mugits bi Syarh Alfiyah al-Hadits li al-‘Iraqi>, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1995/1415)
al-Sha>lih, Subhi>, ‘Ulu>m al-Hadits wa Musthala>huhu, (Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Malayin, 1997)
al-Subhani>, Ja’far, Us}ul al-Hadits wa Ahka>muhu fi> ‘Ilm al-Dirayah, (Qum: Muassasah al-Imam al-Shadiq, 1414 H)
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Cet. I(Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003).
al-Suyut{i>, Jalal al-Di>n, Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi>, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993 M/1414 H)
------------, Thabaqat al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997
al-T{ahhan, Mahmu>d, Taisir Must{ala>h al-Hadis', (Surabaya: Bungkul Indah, tt.)
al-Tirmisi>, Muhammad Mahfuz bin Abdullah, Manhaj Zawy al-Nadhar, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981/1401)
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Yatim, Badri, Historiografi Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997)

Minggu, 13 September 2009



Biografi Al-allamah Syaikh Muhammad Mustafa al-A’zami Hafidzhahulloh Ta’ala
Oleh: Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani Al-Jawy bin Shalih Abu Ramadhan (Serang-Banten)

Spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A’zami, 73 tahun, guru besar ilmu hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A’zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.

Sumbangan penting A’zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ”Studies in Early Hadith Literature” (1966), secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.

Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori “proyeksi ke belakang”. Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.

Saking kuatnya pengaruh Goldziher-Schacht, sejumlah pemikir muslim juga menyerap tesisnya, seluruh atau sebagian. Seperti A.A.A. Fyzee, hakim muslim di Bombay, India, dan Fazlur Rahman, pemikir neomodernis asal Pakistan yang cukup populer di Indonesia. Definisi hadis ala Goldziher-Schacht berbeda dengan keyakinan umum umat Islam. Bahwa hadis adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi yang telah diuji akurasinya oleh para ulama hadis seperti Bukhari dan Muslim.

Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A’zami. “Cukup mengherankan,” tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A’zami di Indonesia tahun 1972, “hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis.” Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.

Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, judulnya On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A’zami sudah beredar luas di Tanah Air. Murid A’zami di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub, berperan banyak memopulerkan pikiran ulama kelahiran India itu.

Ali Mustafa membandingkan jasa A’zami dengan Imam Syafi’i (w. 204 H). Syafi’i pernah dijuluki “pembela sunah” oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah –sebutan lain hadis. “Pada masa kini,” kata Ali Mustafa, “Prof. A’zami pantas dijuluki ‘pembela eksistensi hadis’ karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi.”

Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A’zami merambah bidang studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur’anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. “Ini karya pertama saya tentang Al-Quran,” kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.

Muhammad Mustafa al-A’zami adalah salah seorang cendekiawan terkemuka di bidang ilmu Hadith, lahir di Mau, India pada awal tahun tiga puluhan. Pendidikan pertama di Dar al-`Ulum Deoband, India (1952), Universitas al-Azhar, Kairo, (M.A., 1955), Universitas Cambridge (Ph.D., 1966). Guru Besar Emeritus (pensiun) pada Universitas King Sa’ud (Riyad) dan beliau pernah menjabat sebagai kepala jurusan Studi Keislaman, dan memiliki kewarganegaraan Saudi Arabia.

Profesor A’zami pernah menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional, Qatar; Associate Profesor pada Universitas Umm al-Qura (Mekah) ; Sebagai Cendekiawan tamu pada Universitas Michigan (Ann Arbor); Fellow Kunjungan pada St. Cross College (Universitas Oxford) ; Professor Tamu Yayasan Raja Faisal di bidang Studi Islam pada Universitas Princeton, Cendekiawan Tamu pada Universitas Colorado (Boulder). Beliau juga sebagai Professor kehormatan pada Universitas Wales (Lampeter).

Karya-karyanya antara lain, Studies in Early Hadith Literature, Hadith Methodology dan Literaturnya, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-Nabawi, Kuttab an­Nabi, Manhaj an-Naqd `ind al-`Ilal Muhaddithin, dan al-Muhaddithin min al­Yamamah. Beberapa buku yang dieditnya antara lain, al-` Ilah of lbn al-Madini, Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasululloh of `Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Sahih ibn Khuzaimah, dan Sunan ibn Majah.

Beberapa karya al-A’zami telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain. Karya yang akan datang antara lain, The Qur’anic Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur’an: Suatu Janji yang Telah Terpenuhi), dan The Isnad System : Its Origins and Authenticity (Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihan­nya). Pada tahun 1980 beliau menerima Hadiah Internasional Raja Faisal untuk studi keislaman.

Selasa, 08 September 2009

Biografi Syekh Nawawi al-Bantani 2


al-Habib Muhammad Nawawi al-Bantani



oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.

Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.

Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.


Biografi Syekh Nawawi al-Bantani

oleh: Hery Sucipto
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

This is my Family


ini keluargaku

Minggu, 06 September 2009

tes blog


Tes ..... tes....


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Ford Cars. Powered by Blogger